Satuan Tugas Halal dan Penyelia Halal NTB menggelar sosialisasi penerapan Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH) di Bandara Internasional Zainuddin Abdul Madjid (BIZAM), Rabu (14/5). Kegiatan ini diikuti pelaku usaha dari berbagai sektor yang beroperasi di kawasan bandara, termasuk sektor kuliner.
Kegiatan ini menghadirkan narasumber dari lintas lembaga, yaitu H. Suparman, S.Pd dari Satgas Halal Kanwil Kementerian Agama Prov NTB, Muhammad Sibawaih, S.H.I., M.H.I. selaku Penyelia Halal NTB, dan H.Muhyiddin dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Lombok Tengah serta Teguh Ari dari pihak Bandara Lombok.
Dalam pemaparannya, H. Suparman menegaskan bahwa semua produk makanan dan minuman yang dijual di bandara wajib bersertifikat halal paling lambat 18 Oktober 2026, sesuai amanat Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
“Kami mendorong pelaku usaha di bandara segera mengurus sertifikasi halal. Ini bukan hanya kepatuhan hukum, tapi juga untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat. Dengan produk bersertifikat halal, konsumen lebih yakin dan penjualan bisa meningkat,” ujarnya.
Hingga saat ini, lebih dari 100 sertifikat halal telah diterbitkan oleh Satgas dan Penyelia Halal NTB. Proses sertifikasi ini diawasi oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), yang menetapkan ketentuan teknis dan tahapan pemeriksaan, termasuk kewajiban pemisahan produk halal dan non-halal serta kejujuran dalam penyampaian data oleh pelaku usaha.
Sementara itu, Muhammad Sibawaih menjelaskan bahwa kewajiban sertifikasi halal akan diterapkan secara bertahap sesuai regulasi.
“Produk dan jasa yang wajib bersertifikasi halal mencakup makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan. Selain itu, jasa penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian juga termasuk yang wajib bersertifikat halal. Skema penahapan kewajiban ini berbeda antara pelaku usaha skala menengah-besar dan usaha mikro-kecil. Usaha menengah dan besar diberi batas waktu sampai 17 Oktober 2024, sementara usaha mikro dan kecil sampai 17 Oktober 2026,” terangnya.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa pemenuhan sertifikasi halal harus didukung oleh kepatuhan terhadap ketentuan Undang-Undang.
“Sesuai Pasal 24 UU No. 33 Tahun 2014, pelaku usaha yang mengajukan permohonan sertifikasi halal wajib memberikan informasi secara jujur, memisahkan lokasi dan alat antara produk halal dan non-halal, memiliki Penyelia Halal, dan melaporkan perubahan komposisi bahan jika ada,” jelas Sibawaih sambil menunjukkan visualisasi dari peraturan tersebut.
Sedangkan H. Muhyiddin dari MUI Lombok Tengah turut menegaskan bahwa proses penetapan halal dilakukan berdasarkan kajian mendalam sesuai hukum syariat Islam.
“Fatwa halal dikeluarkan setelah melalui kajian yang ketat dan sesuai dengan ketentuan syariah. Ini bukan hanya administratif, tapi ibadah,” tegasnya.
Melalui sosialisasi ini, para pelaku usaha diharapkan semakin siap menyambut penerapan wajib halal 2026, sehingga produk yang beredar di lingkungan bandara terjamin kehalalannya secara hukum dan syariat.
Untuk konsultasi Permohonan Sertifikat Halal dapat menghubungi no kontak: +62 838-5099-6748